A.
TEORI
KONSTRUKTIVISME
1.
Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharap
Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki
adalah manusia yang memiliki kepekaan,
kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan,
mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses balajar yang terus menerus
untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses… (to) learn to be mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah
yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni,
1990).
Kepekaan artinya kemampuan berfikir maupun kemudahan
tersentuh hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari
kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan
Gubahan Sang Pencipta.
Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan
hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta
keberanian bertindak sesuai dengan apa yang diangapnya benar dan perlu.
Tanggung Jawab, berarti kesediaan untuk menerima
segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri.
Kolaborasi, berarti disamping mampu berbuat yang
terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu
bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan
bersama.
Penerapan ajaran tut
wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini
dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan
yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika
individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan ditantang untuk memusatkan
perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di
atas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan
pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.
2.
Konstruksi Pengetahuan
Apa pengetahuan
itu? Menurut pendekatan
konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu
kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif sesorang terhadap objek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia
dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu
pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami
reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Proses
mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan
indranya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan
melihat mendengar, menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui
sesuatu.
Von Galserfeld (dalam Paul, S,
1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksikan pengetahuan,
yaitu:
1.
Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman
2.
Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan
3.
Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang
satu dari pada lainnya
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkonstruksikan pengetahuan
a.
Konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada
b.
Domain pengalaman
c.
Jaringan struktur kognitif yang dimilikinya
3.
Proses Belajar menurut Teori Konstuktivistik
Proses Belajar
Konstuktivistik adalah sebagai pemberian makna oleh siswa melalui proses
asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahkiran struktur kognitifnya.
Peranan Siswa
(Si-belajar) menurut pandanagan Konstuktivistik, belajar merupakan suatu
proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si
belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan
memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Terwujudnya gejala
belajar adalah niat belajar siswa sendiri atau dengan kata lain hakekat kendali
belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Peranan Guru menurut
pandanagan Konstuktivistik membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan
oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuan sendiri.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah
pengendalian, yang meliputi:
1.
Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan
untuk mengambil keputusan dan bertindak
2.
Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan
bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
3.
Menyediakan system dukungan yang memberikan kemudahan
belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana
belajar. Pendekatan konstruktivistik menekan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti media, peralatan, lingkungan,
dan fasilitas lainya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
Evaluasi.
hasil belajar konstruktivistik lebih tepat
dinilai dengan metode evaluasi goal-free.
Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil konstruktivistik, memerlukan
proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Bentuk-bentuk
konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi
pengetahuan yang mengambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat
“penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta
“sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksikan pengalaman siswa, dan
mengarahkan evaluasi pada kontek yang luas dengan berbagai perspektif.
4.
Perbandingan Pembelajaran Tradisional (behavioristik) dan Pembelajaran
Konstruktivist
Pembelajaran Konstruktivistik membantu siswa
menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi
dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutna akan membentuk struktur
kognitif baru.
Perbedaan rinci perbedaan karakteristik antara
pembelajaran tradisonal atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik
adalah sebagai berikut:
Pembelajaran
Tradisional
|
Pembelajaran
Konstruktivistik
|
1. Kurikulum
disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada
keterampilan-keterampilan dasar
|
Kurikulum
yang disajikan mulai dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan lebih
mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
|
1. Pembelajaran
sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
|
Pembelajaran
lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
|
2. Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja
|
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer-primer dan
manipilasi bahan
|
3. Siswa-siswa
dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh
guru-guru pada umumnya mengggunakan cara didaktif dalam menyampaikan
informasi kepada siswa
|
Siswa
dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang
dirinya.
|
4. Penilaian
hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandangsebagai bagian dari pembelajaran dan biasa dilakukan ada akhir
elajaran dengan cara testing.
|
Pengukuran
proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan
pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa,
serta melalui tugas-tugas pekerjaan
|
5. Siswa-siswa
biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar
|
Siswa-siswa
banyak belajar dan bekerja di dalam group process
|
Implikasi Teori Konstruktivistik Tehadap
Pembelajaran
1.
Menurut Suparno guru berfungsi sebagai mediator dan
fasilitator. fungsi fasiltator dan mediator sbb:
a.
Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa
bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Dengan
demikian, member kuliah atau caramah bukanlah tugas utama seorang guru
b.
Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasannya dan mengomunikasikan ide ilmiah mereka, mereka menyediakan sarana
yang merangsang siswa berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan
pengalama yang mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa/
c.
Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah
pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah
pengetahuan siswa tersebut berguna untuk mengatasi persoalan baru. Guru
membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
2.
Guru konstruktivis tidak akan pernah membenarkan
pengajarannya dengan mengklaim bahwa “ini satu-satunya yang benar”
paling-paling mereka hanya mengatakan “ini adalah jalan terbaik untuk situasi
ini, ini adalah jalan yang terefektif untuk soal sekarang. (Yon Glasersfeld,
dalam Suparno, 1997). Guru perlu menciptakan suasana yang membuat siswa
antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan
persoalanya. Guru perlu mengaktifkan siswa untuk berfikir. Guru dapat
memberikan orientasi dan arah, tetapi tidak boleh memaksakan arah.
3.
Guru perlu membiarkan siswa menemukan cara yang paling
menyenangkan dalam pemecahan persoalan.
4.
Guru seharusnya tidak mengajukan dan menuntut
satu-satunya jawaban yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan
suatu pengalaman.
5.
Guru perlu pandangan yang luas dan mendalam mengenai
pengetahuan tentang bahan yang diajarkan.
6.
Dalam konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang
tahu segalanya dan siswa bukanlah yang belum tahu sehingga ia perlu dikasih
tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar