Kamis, 04 Juni 2015

TEORI KONSTRUKTIVISME





A.  TEORI KONSTRUKTIVISME
1.    Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharap
Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki adalah manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses balajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses… (to) learn to be  mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan artinya kemampuan berfikir maupun kemudahan tersentuh hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan Gubahan Sang Pencipta.
Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang diangapnya benar dan perlu.
Tanggung Jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri.
Kolaborasi, berarti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama. 
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.

2.    Konstruksi Pengetahuan
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif sesorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. 
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat mendengar, menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu.
Von Galserfeld (dalam Paul, S, 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksikan pengetahuan, yaitu:
1.      Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2.      Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3.      Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkonstruksikan pengetahuan
a.       Konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada
b.      Domain pengalaman
c.       Jaringan struktur kognitif yang dimilikinya

3.    Proses Belajar menurut Teori Konstuktivistik
Proses Belajar Konstuktivistik adalah sebagai pemberian makna oleh siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahkiran struktur kognitifnya.
Peranan Siswa (Si-belajar) menurut pandanagan Konstuktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri atau dengan kata lain hakekat kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Peranan Guru menurut pandanagan Konstuktivistik membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuan sendiri.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak
2.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
3.      Menyediakan system dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
Evaluasi.  hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Bentuk-bentuk konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang mengambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksikan pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada kontek yang luas dengan berbagai perspektif.

4.    Perbandingan Pembelajaran Tradisional (behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivist
Pembelajaran Konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutna akan membentuk struktur kognitif baru.
Perbedaan rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisonal atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Konstruktivistik
1.   Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar
Kurikulum yang disajikan mulai dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
1.   Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
2.   Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer-primer dan manipilasi bahan
3.   Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru-guru pada umumnya mengggunakan cara didaktif dalam menyampaikan informasi kepada siswa
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
4.   Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandangsebagai bagian dari  pembelajaran dan biasa dilakukan ada akhir elajaran dengan cara testing.
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
5.   Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process




Implikasi Teori Konstruktivistik Tehadap Pembelajaran
1.      Menurut Suparno guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator. fungsi fasiltator dan mediator sbb:
a.       Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Dengan demikian, member kuliah atau caramah bukanlah tugas utama seorang guru
b.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya dan mengomunikasikan ide ilmiah mereka, mereka menyediakan sarana yang merangsang siswa berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalama yang mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa/
c.       Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa tersebut berguna untuk mengatasi persoalan baru. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
2.      Guru konstruktivis tidak akan pernah membenarkan pengajarannya dengan mengklaim bahwa “ini satu-satunya yang benar” paling-paling mereka hanya mengatakan “ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, ini adalah jalan yang terefektif untuk soal sekarang. (Yon Glasersfeld, dalam Suparno, 1997). Guru perlu menciptakan suasana yang membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalanya. Guru perlu mengaktifkan siswa untuk berfikir. Guru dapat memberikan orientasi dan arah, tetapi tidak boleh memaksakan arah.
3.      Guru perlu membiarkan siswa menemukan cara yang paling menyenangkan dalam pemecahan persoalan.
4.      Guru seharusnya tidak mengajukan dan menuntut satu-satunya jawaban yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman.
5.      Guru perlu pandangan yang luas dan mendalam mengenai pengetahuan tentang bahan yang diajarkan.
6.      Dalam konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang tahu segalanya dan siswa bukanlah yang belum tahu sehingga ia perlu dikasih tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar